Dengan kondisi
ekonomi yang serbasulit serta pengalaman yang ditolak berkali-kali membuat
Sugimun nekad berusaha sendiri. Berbekal restu sang ibu, tahun 1992 ia menjual
perhiasan emas milik ibunya senilai Rp. 15.000,-. Uang tersebut sebagian ia
pakai untuk menyewa lapak emperan pasar sayur Magetan. Di tempat yang kecil
itu, ia membuka usaha jasa servis elektronik dan menjual isi korek api. Dengan
perlengkapan seadanya, setiap hari ia melayani pelanggannya.
Untuk menjalankan
usahanya, Sugimun harus berjuang keras. Betapa tidak, jarak perjalanan dari
rumah ke tempat usahanya sangatlah jauh. Dari desanya yang terpencil, ia harus
berjuang menempuh jarak satu kilometer untuk menuju ke tempat mangkal angkutan
umum yang akan membawanya ke kiosnya. Belum lagi jarak menuju pasar sayur.
Ditambah lagi naik-turun angkutan umum. Bagi orang yang siknya normal, hal itu
bukan masalah. Namun bagi Sugimun yang kakinya layuh (lumpuh) akibat polio,
terasa berat.
Usahanya itu juga
terkadang ramai, terkadang sepi. “Namun, saya tetap yakin Allah Mahaadil,
Pengasih, dan Pemurah,” katanya. Dengan penuh ketelatenan dan kesungguhan,
Sugimun berusaha meraih kepercayaan para pelanggan, terutama dalam menepati
janji. Ia berusaha keras untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Ia juga
tidak pelit menjelaskan kepada pelanggannya tentang kerusakan dan onderdil yang
harus dibutuhkan, termasuk harga dan kualitas onderdil yang bervariasi.
“Ternyata dengan cara seperti itu kepercayaan bisa didapatkan,” katanya.
Kiosnya semakin
sering dikunjungi orang. Berarti, kebutuhan akan onderdil elektronik juga
meningkat. Peluang inilah yang ia baca. Ia mulai menyisihkan uangnya untuk
modal pembelian onderdil. Sedikit demi sedikit ia juga melengkapi kiosnya
dengan barang elektronik. Karena makin lama barangnya kian banyak, akhirnya ia
memberanikan diri membeli toko. “Alhamdulillah ramai,” jelasnya. Kini ia telah
memiliki tiga unit toko.
Meski kini menjadi
orang sukses, Sugimun tidak lupa terhadap keluarganya. Sebagai anak tertua dari
delapan saudara, ia merasa bertanggung jawab atas keberlangsungan pendidikan
adik-adiknya. Oleh karenanya, sebagian rezekinya ia gunakan untuk membantu
biaya pendidikan tiga orang adiknya. Ia mangajak mereka untuk membantu
menjalankan toko elektroniknya. Ia berharap agar kelak saudara-saudaranya yang
lain mampu mandiri. “Saya bahagia bisa menyekolahkan ketiga adik saya hingga
tamat SMU,” katanya.
Kebahagiaannya
makin lengkap ketika ia menemukan jodohnya bernama Nursiam. Perempuan yang ia
nikahi itu kini memberinya tiga orang anak. Selain itu, Sugimun juga membantu
orang-orang di daerah sekitarnya. Ia tidak membantu dalam bentuk uang,
melainkan berupa pemberian kesempatan pendidikan dan keterampilan. Ia membina
beberapa yatim dan anak cacat agar memiliki berbagai keterampilan yang berguna
bagi masa depan mereka kelak.
“Pengalaman masa
lalu membuat saya sadar, bahwa pendidikan dan keterampilan sangat berguna bagi
orang-orang seperti saya,” katanya sambil tersenyum. Ada tiga anak yatim cacat
yang kini ia asuh. Tidak banyak memang, tetapi paling tidak, ia telah berbuat
sesuatu untuk sesamanya.
Satu hal yang ia
syukuri, ia hanya cacat fisik, bukan cacat rohani. Cacat fisik yang ia alami
tidak membuatnya jatuh terpuruk mengharap belas kasih orang lain, melainkan
sebagai pelecut semangat untuk menggapai cita-cita mandiri. Kini, meski ia
secara sik tidak sempurna, tetapi ia mampu berbuat lebih. Melebihi dari apa
yang bisa dilakukan oleh orang normal. “Ini semua rahasia Allah, bahwa orang
cacat seperti saya, diberi kemampuan untuk membantu orang lain,” katanya.